Systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan suatu penyakit autoimun yang ditandai oleh produksi antibodi terhadap komponen-komponen inti sel yang berhubungan dengan manifestasi klinis yang luas. Perjalanan penyakitnya kronik, bentukan klinisnya bermacam-macam dan dapat menyerang setiap sistem organ dalam tubuh. Etiologi penyakit ini belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
SLE merupakan prototipe penyakit autoimun multisistem. Berbeda dengan penyakit autoimun yang organ-spesific di mana suatu respon autoimun tunggal mempunyai sasaran terhadap suatu jaringan tertentu dan menimbulkan gejala klinis yang karakteristik, SLE ditandai oleh munculnya sekumpulan reaksi imun abnormal yang mengahasilkan beragam manifestasi klinis.
Gambaran klinis utama pada penderita mencakup demam, rashes, artritis, serta keterlibatan organ seperti ginjal, paru-paru, jantung dan organ lainnya. Perjalanan penyakit bervariasi dan untuk menegakkan diagnosis digunakan kriteria ARA (American Rheumatism Association).
SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, cina, dan mungkin juga Filipina. SLE terutama menyerang wanita muda dengan insiden puncak pada usia 15-40 tahun selama masa reproduksi dengan ratio wanita dan laki-laki 5:1.
Paling sedikit 5% dari penderita SLE disertai riwayat keluarga yang juga menderita kelainan sama. Dugaan adanya faktor genetik serta lingkungan sangat penting dalam timbulnya kelainan baik klinis maupun serologis. Penelitian genetik terutama yang menyangkut HLA tidak dapat memberikan kepastian adanya hubungan antara HLA A/B/C dengan SLE, akan tetapi HLA DW2 dan DW3 mungkin dapat merupakan faktor predisposisi. Pada penderita SLE dijumpai peningkatan Ia - 715 serta defisiensi komplemen bila dibandingkan dengan penderita bukan SLE.
Banyak fakta menunjukkan bahwa pada individu yang secara acak genetik sensitif, beberapa stimulus lingkungan akan sangat mempengaruhi DNA, jaringan imunoregulator atau keduanya sehingga dapat mengakibatkan pembentukan antibodi terhadap inti sel. Faktor stimulus ini antara lain infeksi virus, sinar ultra violet, paparan dengan obat tertentu, dan sebagainya. dapat menjadi pencetus manifestasi SLE atau mem-perberat penyakit yang ada, seperti yang dikemukakan oleh beberapa peneliti:
• SLE dapat ditimbulkan oleh adanya respon imun yang abnormal terhadap suatu infeksi virus.
• Hampir sepertiga penderita SLE ditemukan antibodi terhadap inti sel yang rusak akibat sinar ultra violet.
• Beberapa obat tertentu dapat mepengaruhi / mengubah DNA sehingga merangsang pembentukan antibodi terhadap inti sel (ANA). Lima belas sampai 70% penderita yang menggunakan obat-obatan seperti hidralazin, prokainamid, metildopa, isoniazid, klorpromazin, hidantoin, etosuksimid, trimetadion untuk jangka waktu lama akan terbentuk antibodi anti inti sel (ANA).
• Faktor hormonal dapat mempengaruhi gambaran klinis penderita SLE yang 90% wanita pada usia produktif dan 30% penderita mengalami perburukan pada kehamilan.
Etiologi dan pathogenesis SLE masih belum diketahui dengan jelas. Namun demikian terdapat banyak bukti bahwa patogenesisnya bersifat multifakorial, dan ini mencakup faktor genetik, lingkungan, serta hormonal terhadap respon imun. Penelitian-penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun.
Pada SLE, auto antibody yang terbentuk ditujukan pada antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non-histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein-RNA ysng disebut juga ribonukleaprotein (RNA). Ciri khas autoantingen ini adalah mereka tidak tissue-spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel.
1. Ruam malar
2. Ruam diskoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulserasi di mulut atau nasofaring
5. Artritis
6. Serositis, yaitu pleuritis atau perikarditis
7. Kelainan ginjal, yaitu proteinuria persisten >0,5 gr/hari, atau adanya silinder sel
8. Kelainan neurologik, yaitu kejang-kejang atau psikosis
9. Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolitik, atau lekopenia atau limfopenia, atau trombositopenia
10. Kelainan imunologik, yaitu sel LE positif atau anti ds-DNA positif, atau anti Sm positif atau tes serologik untuk sifilis yang positif palsu.
11. Antibodi antinuklear (ANA) positif
*Gejala konstitusional
-Kelelahan; merupakan keluhan yang umum yang dijumpai pada pasien SLE dan biasanya mendahului manifestasi klinis lainnya
*manifestasi musculoskeletal
Merupakan manifestasi klinis yang paling sering dijumpai pada pasien SLE, lebih dari 90%. Keluhan dapat berupa mialgia, atralgia, atau merupakan suatu arthritis dimana tampak jelas adanya suatu inflamasi sendi. Seringkali dianggap sebagai manifestasi rematois atritis karena melibatkan banyak sendi dan bersifat simetris. Perbedaannya dengan RA, inflamasi sendi pada SLE tidak menimbulkan deformitas.
Lesi mukokutaneus yang tampak sebagai bagian dari SLE adalah fotosensitivitas, discoid LE, alopecia, lesivaskular seperti talangiektasis, vaskulitis.
Berbagai manifestasi klinis pada paru-paru dapat terjadi baik berupa pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru. Pneuonitis lupus ini memberikan respon yang baik terhadap steroid.
Baik pericardium, miokardium, endokardium, maupun pembuluh darah koroner dapat terlibat pada pasien SLE walaupun yang paling sering terkena adalah pericardium
Gejala atau tanda keterlibatan renal pada umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau sindrom nefrotik
Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada pasien SLE, karena dapat merupakan keterlibatan berbagai organ pada penyakit ini atau sebagai akibat dari pengobatan. Disfagia merupakan keluhan yang biasanya menonjol pada pasien dalam keadaan tertekan dan sifatnya episodic, walaupun tidak dapat dibuktikan adanya kelainan pada esophagus tersebut, kecuali gangguan motilitas. Dyspepsia, nyeri abdominal serta pancreatitis dapat dijumpai.
Hepatomegali merupakan pembesaran organ yang bayak dijumpai pada SLE, disertai dengan peningkatan SGOT/SGPT ataupun alkali fosfatase dan LDH. Kelainan ini berhubungan dengan penyakait itusendiri ataupun penggunaan anti inflamasi non steroid, terutama salisilat.
Keterlibatan neuropsikiatrik pada SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Keterlibatan susunan saraf pusat dapat bermanifestasi sebagai epilepsy, lesi syaraf cranial, lesi batang otak, meningitis aseptic atau mielitis transversal. Sedangkan pada susunan saraf tepi dapat bermanifestasi sebagai neuropati perifer, miastenia gravis atau mononeuritis multipleks. Dari segi psikiatrik, gangguan fungsi mental dapat bersifat organic atau non-organik
Limfadenopati menyeluruk ataupun terlokalisir sering dijumpai pada pasien SLE. Kelenjar getah bening yang pling sering terkena adalah aaksila dan servikal. Splenomegali sering dijumpai. Anemia dapat dijumpai pada suatu episode perjalanan penyakit SLE dapat berupa anemia akibat enyakit kronik ataupun anemia yang diperantarai oleh sistem imun seperti anemia hemolitik autoimun.
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan tinggalkan komentar setelah membaca apalagi mencopy abis... Plis Deh...